Kisah ini diceritakan oleh seorang ibu rumah tangga dengan pahit getirnya pengalaman hidupnya.
“Mohon maaf sebelumnya, apabila ada kesamaan nama dan tempat, atau
bahkan kemiripan isi ceritanya, karena ini hanya nama samaran demi untuk
menjaga kerahasiaan identitas yang bersangkutan. Terima kasih.” (Al-Ly
Oman)
Adalah wajar apabila seorang wanita mendambakan kehidupan rumah tangga
yang damai, rukun, dan harmonis. Termasuk aku. Sebagai seorang istri
yang masih muda belia, aku juga memimpikan saat-saat yang indah bersama
suami. Namun, rasanya kesempatanku untuk menjadi ibu rumah tangga yang
bahagia sudah terkubur dalam lumpur. Sulit bagiku untuk dapat berdiri
kembali, sama sulitnya dengan menegakkan benang basah. Memang begitulah
keadaanku saat ini. Sebab biang keladi semua kesusahanku adalah Bang
Ipras, suamiku sendiri. Dialah yang mula-mula memperkenalkan aku dengan
dosa dan membuatku ketagihan untuk lagi-lagi berbuat dosa.
Sebetulnya orang tuaku sangat bijaksana dalam membesarkan dan mendidik
anak-anaknya. Kami yang berjumlah Sembilan orang diperlakukan dengan
santun dan penuh kasih saying, dan tidak seorang pun yang diistimewakan
melebihi yang lainnya. Kami ditempa untuk menjadi anak-anak yang tahu
diri, bahwa ayahnya yang pensiunan pegawai negeri penghasilannya tidak
seberapa sehingga kami harus rela hidup dengan serba sederhana
Untuk itu, ibuku yang berdarah Betawi, sangat ketat mengatur keuangan
belanja sampai tidak serupiah pun dibiarkan lolos tanpa diperhitungkan
manfaatnya. Namun, karena sikap Ibu yang hemat itulah kehidupan keluarga
kami terasa lebih berkecukupan dibandingkan dengan keluarga-keluarga
lain yang sama-sama penghuni komplek perumahan di Cisalak, Jawa Barat.
Demikianlah, tahun demi tahun kami lalui dengan suasana kerukunan yang
tetap terpelihara. Kakak-kakakku sudah mulai memasuki jenjang
perkawinan, sedangkan aku sebagai anak nomor enam telah meningkat ke
usia remaja. Aku kini duduk di kelas II SMP.
Ayah sering memperingatkan, dengan nasihat-nasihat yang menyentuh
perasaan, bahwa masa remaja adalah saat-saat yang penuh godaan,
tantangan, dan risiko. Kalau tidak pandai-pandai meniti arus,
salah-salah bias hanyut ditelan ombak. Apalagi bila tidak hati-hati
menjaga diri, akibatnya akan dirasakan seumur hidup.
Ibu juga ikut prihatin sebab pergaulan muda-mudi akhir-akhir ini jauh
berbeda dengan etiket pada masa mudanya. Dulu, kata ibu, pergi berdua di
siang hari saja sudah mencemarkan nama, jangankan kencan hingga larut
malam. “Tidak seperti anak-anak sekarang”, ujarnya cemas. “Mereka sudah
dikendalikan. Antara lelaki dan perempuan seolah-olah tidak ada batas
lagi, sesuka sendiri.”
Intinya aku tahu, ibuku mengharapkan agar aku tidak terseret oleh
pergaulan bebas sampai melanggar batas-batas agama. “Karena sekali
wanita ternoda, bekasnya akan membuat sengsara dirinya sepanjang masa.
Kemana pun bersembunyi, dengan cara apapun ditutup-tutupi, noda akan
melekat terus dan membuat rumah tangganya tidak akan tentram selamanya,”
ucapnya trenyuh. Nasihat itu kutanggapi dengan janji di dalam hati
bahwa aku akan selalu melindungi kehormatanku sebagai seorang gadis yang
masih suci.
Namun janji itu seolah tidak bergaung kalau aku sedang berkumpul dengan
teman-teman sebayaku, di sekolah dan di tempat-tempat lain. Bersama
mereka, dunia terasa lebih meriah, tidak seperti di rumah. Sungguh, masa
remaja adalah kesempatan paling indah tuk dinikmati. Kapan lagi bila
tidak hari ini? Begitu semboyanku dalam hati jika sedang dinasihati.
Sebab, setiap kali berada di rumah, kulihat ayah dan ibuku jarang
bergurau. Mereka hanya bicara tentang urusan sehari-hari. Tidak pernah
kudengar tertawa melengking atau ungkapan-ungkapan perasaan yang
dikemukakan lewat kalimat-kalimat polos dan lugu sebagaimana kualami
bersama kawan-kawanku. Selalu harus dijaga kesopanan, tata karma, dan
adat ketimuran yang rasanya makin lama menjadi makin kaku. Dan kayaknya
kok dari itu ke itu saja, tidak ada perubahan. Lain sekali dengan
suasana pergaulan para remaja. Kami bias tertawa lepas. Bahkan bebas
mengemukakan ungkapan-ungkapan perasaan dengan berbagai kalimat yang
jorok sekalipun. Sebab bagi kami, yang penting adalah sama-sama senang
dan jangan usil terhadap kawan. Nah, itu kan cara hidup yang sesuai
dengan keinginan setiap orang, bersuka ria tanpa kenal waktu?
Barangkali karena pergeseran janji itulah aku mulai gemar bergaul dengan
teman-teman cowok. Mula-mula aku masih agak menjaga jarak, sekadar
akrab di tempat-tempat ramai, waktu camping atau piknik bersama
umpamanya. Lama-kelamaan aku mulai berani pergi berdua walaupun masih
belum terlibat skandal asmara. Aku tetap membatasi diri sebagai kawan
biasa dengan siapa saja.
Tetapi, ada seorang siswa kelas III SMA yang paling menarik perhatianku.
Namanya Bang Ipras, pemuda asal Sumatera Barat. Ia bisa mengambil
hatiku dengan sikapnya yang periang dan perlakuannya yang lemah lembut
terhadapku. Aku merasa terlindungi apabila berdekatan dengannya, malahan
kesusahanku segera sirna tiap kali mendengar suaranya. Itulah yang
akhirnya membuatku bersimpuh dalam pelukan cintanya. Aku betul-betul
telah takluk kepada Bang Ipras sejak masuk kelas III SMP, dan terlena
dalam cumbu rayunya.
Sampai kemudian terkoyaklah tabir itu, yaitu pada waktu Bang Ipras
mengajakku pergi seharian dan menikmati kebersamaan di losmen A,
Cisalak. Aku pasrah, tidak saja lantaran gejolak asmara telah membuatku
gelap mata, tetapi juga karena aku takut kehilangan kekasih yang
kudambakan itu. Robeklah kehormatanku, dan robek pula harga diriku.
Celakanya, sejak saat itu aku menganggap sudah tidak ada sesuatu yang
patut kupertahankan lagi. Toh keperawananku sudah kuserahkan? Jadi,
mengapa harus takut-takut? Bukankah Bang Ipras berjanji akan menikahiku?
Apa salahnya kalau semua keindahan ini kuregup sejak saat sekarang? Apa
bedanya?
Dengan jalan pemikiran seperti itu, maka sudah tidak terhitung lagi
hubungan suami-istri kami lakukan dimana-mana, di hotel, di losmen, dan
di tempat-tempat liburan atau rumah kawan-kawannya. Statusku sebagai
murid SMP kumanfaatkan untuk mengibuli orang tuaku. Sering aku membolos
untuk memenuhi keinginan Bang Ipras. Kadang-kadang aku mengatakan kepada
Ayah dan Ibu akan les privat sampai malam, sekadar untuk melampiaskan
tuntutan gairahku yang kelewat rindu kepada Bang Ipras. Betul-betul aku
terjerumus ke dalam jalinan cinta yang paling penuh oleh noda dan dosa.
Entah dengan cara bagaimana aku kelak menghapus lembaran hitamku itu,
sedikit pun tidak terlintas di dalam benakku. Aku benar-benar telah lupa
daratan, bahkan lupa lautan. Seakan-akan aku tidak takut kepada neraka.
Bahkan seolah kutantang ancaman siksa demi cintaku terhadap Bang Ipras
yang telah melampaui takaran wajar.
Untuk memperlancar rayuannya, Bang Ipras memperkenalkan aku dengan
obat-obat terlarang seperti pil BK, Magadhon, Valium, atau Rohpinol.
Sebab dengan menelan pil-pil semacam itu, aku menjadi mabuk kepayang,
pikiran melayang-layang. Dengan demikian secara sukarela kuturuti saja
segala kemauannya, tanpa membantah atau melawan sedikitpun, termasuk
melakukan perbuatan-perbuatan yang menjijikkan. Sembahyang lima waktu
sudah kutinggalkan kecuali kalau sedang berada di rumah, sekedar
mengelabui orang tuaku.
Akhirnya, sesuatu yang kutakutkan dan selalu kami hindari telah terjadi.
Aku berbadan dua, alias hamil. Oh, dunia mendadak berputar-putar di
mataku. Apalagi ketika sikap Bang Ipras terhadapku malah berubah menjadi
kasar dan selalu menjauhkan diri semenjak kukatakan kepadanya bahwa aku
terlambat datang bulan. Bagaikan ditimpa gunung runtuh rasanya tatkala
Bang Ipras malahan menuduh, “Pasti kamu melakukannya dengan orang lain.
Tidak denganku saja.”
Aku menjerit. Serendah itu Bang Ipras menilai kesetiaan dan
pengorbananku untuknya. Aku rela mengkhianati kepercayaan orang tuaku,
bahkan hukum Tuhan kulanggar hanya untuk menuruti kemauannya dan
menyenangkan hatinya. Sebab ia berjanji akan bertanggung jawab andaikata
kecelakaan seperti ini tak dapat dihindari. Namun, ketika bencana itu
menimpa kami, ia akan berlepas tangan dan membiarkan aku harus
menanggungnya sendirian. Alangkah kejamnya lelaki yang kupuja itu.
“Mustahil kalau hanya dengan aku kamu bisa bunting,” teriaknya lantang. “Sebab aku sangat hati-hati, dan tidak asal mau.”
Aku menangis tersedu-sedu. Demi Allah, ah, bolehkah aku yang kotor ini
bersumpah? Sungguh, aku tidak pernah disentuh oleh siapapun, kecuali
oleh dia seorang. Tapi, apa jawab Bang Ipras?
“Sumpah seribu kali pun aku tidak akan percaya,” hardiknya kesetanan.
“Perempuan yang menyerahkan kehormatannya dengan gampang kepada seorang
lelaki, pasti akan dengan gampang pula menyerahkannya kepada lelaki
lain. Dan engkau dengan mudah telah pasrah kepadaku, maka engkau pasti
dengan mudah telah pasrah kepada selain aku.”
Aku tudak tahu, jalan mana lagi yang harus kutempuh agar Bang Ipras mau
kubawa ke depan orang tuaku untuk meminang dan kemudian menikahiku.
Dengan segala cara ia tetap menolak, malahan makin menghindar.
Karena sudah gelap mata, akhirnya aku nekat memberitahukan kehamilanku
kepada Ayah dan Ibu. Tentu saja meledaklah kemarahan dan kemurungan
seluruh keluargaku. Ayah dan Ibu menangis, aku yang kelihatan alim di
rumah, ikut mengaji ke mesjid, ternyata di luar sepengetahuan mereka
telah melakukan perbuatan yang terkutuk. Barangkali tidak terpikir di
benak mereka, sudah sejauh ini kebejatan yang telah kuperbuat selama ini
sampai aku sendiri malu dan menangis pedih.
Namun, apa hendak dikata, segalanya sudah terlanjur. Ibarat nasi, sudah
kepalang menjadi bubur. Lalu mau apa lagi? Tinggal kuterima saja
nasibku, sebab itu semua merupakan hasil perbuatanku juga.
Itu pula barangkali yang terpikir oleh Ayah dan Ibuku. Mereka telah
kucoreng moreng di depan para tetangga sekompleks dan segenap familiku,
namun mereka berusaha tetap sabar menghadapi aku. Malahan tampaknya
ayahku justru menyalahkan dirinya sendiri, mengapa selaku orang tua
tidak cermat mengawasi kelakuan anaknya dan mengendalikan
tindak-tanduknya. Oleh karena itu, dengan segala daya ia berusaha
menginsyafkan Bang Ipras agar mau mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Setelah ternyata Bang Ipras tetap bersikeras dengan pendiriannya,
terpaksa Ayah menggunakan jalur hokum yang berlaku. Ia melaporkan
kasusku itu kepada pihak yang berwajib, sehingga polisi segera turun
tangan. Bang Ipras dimintai keterangan, sebatas mana hubungannya
denganku. Betulkah ia telah menggauli aku, ataukah sekedar pacaran biasa
saja. Sesudah ia mengakui semua kesalahannya, Pak Penghulu pun
dipanggil, dan kami dinikahkan secara sah sesuai dengan hokum agama dan
Negara. Dalam catatanku, peristiwa itu terjadi pada tanggal 29 Oktober
1992, menjelang hari-hari terakhirku di kelas III SMP.
Waktu pernikahan itu usia kandunganku sudah masuk bulan keempat sehingga
tidak berapa lama setepah itu, aku pun melahirkan seorang bayi
laki-laki, mungil dan bersih. Kata ibuku, hidungnya mengambil hidungku
sedangkan bibirnya menyerupai ayahnya. Dalam hatiku berdoa, semoga hanya
bentuk jasad kami yang menitis kepadanya, dan jangan perilaku kami yang
penuh nista itu.
Kini umur anakku sudah jalan. Kebutuhan hidupku makin meningkat,
sedangkan penghasilan Bang Ipras sebagai pedagang kecil-kecilan tidak
mampu manggung semua itu. Terpaksa aku harus mencari tambahan. Anakku
Nvl kutitipkan pada ibuku karena tiap hari aku harus bekerja sampai
larut malam sebagai waitress bilyard di kawasan Monas. Untuk sementara,
aku tidak memberitahu orang tuaku di mana aku bekerja, takut gunjingan
tetangga makin mengguncangkan hati mereka.
Tapi memang wajar, apabila waitress didesas-desuskan orang. Sebab
bekerja di tengah kaum pria selalu ada saja godaannya. Biasanya mereka
memulai perkenalan dengan baik-baik. Seperti Beni, salah seorang
pelanggan yang dengan sopan mendekati aku, dan menawarkan tenaganya
untuk mengantarkan aku pulang dengan mobilnya. Tentu saja tawaran itu
kusambut dengan gembira. Dalam beberapa kali perjalanan ia tetap menjaga
jarak denganku. Kemudian ia banyak menceritakan istrinya yang konon
tidak pernah mampu memberikan kepuasan kepadanya. Dan ujungnya, ia
mengajakku menginap di hotel berdua daripada jauh-jauh pulang ke
Cisalak. Alhamdulillah, rayuan yang merangsang dari lelaki ganteng dan
kaya, ternyata dapat kutolak dengan tegas karena aku merasa sudah
mempunyai suami yang sah. Aku tak ingin terjerumus ke dalam perbuatan
yang melanggar hokum Tuhan.
Untuk itu kupilih keluar dari tempat maksiat itu. Memang permainan
bilyard itu sendiri, kata orang, bukan maksiat. Tetapi, ekor
sampingannya yang biasanya berkepanjangan, dan banyak rumah tangga
berantakan karena suami ada main dengan gadis-gadis penunggu bilyard.
Ya, begitulah risiko rakyat kecil. Kepingin punya uang sedikit saja
harus menjadi santapan orang-orang berduit. Dasar nasib. Karena itu,
keputusanku berhenti bekerja di situ sangat disetujui oleh orang tuaku.
Namun, memang berat hidup tanpa kegiatan. Di rumah aku mulai bosan dan
selalu dirundung kesepian. Apalagi Bang Ipras hanya pulang seminggu
sekali. Kadang-kadang malahan sampai sebulan tidak muncul-muncul. Maka
Dari itu, ketika ada keperluan mendadak yang harus kubicarakan
dengannya, aku berangkat ke tempat dagangnya tanpa member tahu lebih
dulu. Kebetulan hari itu ia tidak berjualan. Tempat dagangnya sepi,
pintunya ditutup, tetapi tidak dikunci. Lega perasaanku. Aku pun segara
masuk sambil menggendong anakku dengan hati-hati sebab ambang pintunya
rendah sekali. Begitu aku menguak tirai kamar, masyaAllah, apakah yang
kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri?
Namun, memang berat hidup tanpa kegiatan. Di rumah aku mulai bosan dan
selalu dirundung kesepian. Apalagi Bang Ipras hanya pulang seminggu
sekali. Kadang-kadang malahan sampai sebulan tidak muncul-muncul. Maka
Dari itu, ketika ada keperluan mendadak yang harus kubicarakan
dengannya, aku berangkat ke tempat dagangnya tanpa member tahu lebih
dulu. Kebetulan hari itu ia tidak berjualan. Tempat dagangnya sepi,
pintunya ditutup, tetapi tidak dikunci. Lega perasaanku. Aku pun segara
masuk sambil menggendong anakku dengan hati-hati sebab ambang pintunya
rendah sekali. Begitu aku menguak tirai kamar, masyaAllah, apakah yang
kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri? Bang Ipras sedang bermain
asmara dengan gadis temannya berdagang. Untung aku sadar bahwa yang
sedang berada pada dalam pelukanku adalah anak kandungku, bukan boneka
bikinan Bang Ipras, sehingga dengan erat kupeluk dia, dan bukannya
kucampakkan ke lantai untuk melampiaskan kemarahanku. Aku tidak jadi
menemuinya. Kutinggalkan warung bejat itu buru-buru sambil air mataku
tertumpah dengan deras.
Ya Tuhan, aku menjerit. Demi Bang Ipras aku bertekad akan menjadi istri
yang setia dan hanya menyerahkan kehormatanku kepadanya. Rayuan dari
pria-pria lain selama bekerja sebagai waitress di tempat bilyard selalu
kutampik, padahal kalau aku mau, berapa banyak uang yang bisa kuperoleh
dari mereka disamping bersenang-senang menikmati gairah masa muda? Kalau
begitu, percuma saja aku menanam kebaikan selama ini apabila
ketulusanku malah dikhianati. Mengapa aku begitu bodoh, sendirian saja
menelan kepahitan dengan suami yang menyeleweng? Kenapa aku tidak
melakukan yang sama, berpuas-puas dengan laki-laki lain?
Ya Allah, aku tidak sadar telah termakan bisikan setan. Akibat rasa
sakit hatiku, aku terhanyut oleh rayuan-rayuan iblis. Dan pekerjaan
iblis tidak tanggung-tanggung. Ia seolah-olah membimbingku untuk selalu
bertandang ke rumah bekas kawan SMP-ku dulu, yang mempunyai seorang
kakak lelaki bernama Amir. Dari perkenalan sepintas, akhirnya Amir makin
akrab denganku, dan sudah sering membawaku menonton bioskop berdua.
Malahan sejak itu aku justru lebih dekat dengan Amir daripada dengan
Ani, kawanku itu. Mula-mula kalaupun Bang Amir menciumku, masih kuanggap
sebagai kasih saying abang kepada adiknya walaupun bukan saudara
kandung. Tetapi, lama kelamaan sikapnya kepadaku melebihi batas-batas
kewajaran. Celakanya, aku tidak keberatan, bahkan mengimbanginya dengan
bernafsu karena ingin membalas dendam kepada suamiku. Akibatnya,
terulang kembali dosa-dosa itu, seperti pernah kulakukan dengan Bang
Ipras sebelum menikah dulu.
Namun, penyelewenganku kali ini segera tercium oleh ayahku. Bagaikan
Malaikat Mungkar Nakir, Ayah mendampratku habis-habisan. Dan sejak saat
itu aku dilarang keluar rumah tanpa seizing Ayah dan Ibu.
Malangnya, Bang Ipras sempat mendengar skandalku dengan Bang Amir. Entah
kenapa, ia bukannya mendatangi Bang Amir untuk mengadakan perhitungan
antara lelaki dengan lelaki, malahan akulah yang menjadi sasarannya.
Gamparan demi gamparan, gebukan demi gebukan selalu kuterima tiap kali
Bang Ipras pulang. Agaknya aku ini dianggap memikul beban dosa dua
orang. Bukan dosaku sendiri saja, tetapi juga dosa Bang Amir yang telah
menggauliku beberapa kali.
Namun, betapa pun besarnya dosaku, rasanya aku tak sanggup lagi menahan
kesakitan ini. Oh, adakah siksaanku kelak di akhirat akan jauh lebih
berat dibandingkan dengan yang kuderita sekarang ini? Lalu, masih adakah
harapan bagiku untuk mendapat keselamatan sebagaimana hamba-hamba Tuhan
yang lain?
Memang, penyesalanku barangkali sudah terlambat. Aku adalah wanita
bobrok, yang sebenarnya tidak layak menjadi seorang ibu. Benarkah itu?
Nyatanya, anakku yang belum genap berusia setahun tiba-tiba tertimpa
musibah mengerikan. Ia merangkak ke lorong tempat tidur tanpa setahuku
dan meminum air accu yang tergeletak di situ. Dalam keadaan
terkejang-kejang, anak itu dibawa ke rumah sakit oleh ayah dan ibuku
sementara aku Cuma bisa melolong di rumah, meratapi peruntunganku. Entah
bagaimana nasib anakku itu, aku belum tahu. Yang jelas, ia sebetulnya
anak tidak berdosa meskipun kelahirannya berasal dari hubungan tidak sah
antara aku dengan Bang Ipras. Untuk itu aku masih mampu memohon kepada
Allah agar ia diselamatkan dari malapetaka itu. Yang berdosa kami, ya
Allah, ayah-ibunya. Ia tidak tahu apa-apa. Bahkan sebetulnya ia lahir
dengan terpaksa tanpa kami kehendaki.
Rupanya permohonanku didengar Tuhan. Beberapa hari kemudian kesehatan
anakku telah pulih kembali seperti sedia kala. Sungguh, tak terkira
kegembiraanku, dan alangkah bahagianya perasaanku. Ternyata Tuhan masih
berkenan mengabulkan doa seorang hamba-Nya yang bergelimang dosa. Jadi,
seandainya aku memohon ampun dari dosa-dosaku yang lalu, apakah Ia juga
mau menerima kedatanganku?
Dengan cemas dan ragu-ragu kutanyakan masalah ini kepada ayahku. Ya,
karena betul-betul aku ingin bertobat, ingin sembahyang lagi, ingin
berpuasa lagi, dan ingin mengaji lagi.
Bagaimanakah kemudian jawaban yang kudengar dari mulut ayahku?
“Far,” ujarnya. “Kabarnya Nabi pernah mengatakan bahwa tidak ada suara
yang lebih dicintai Allah daripada suara seorang hamba yang berdosa
ketika ia tengah memohon ampun kepada-Nya. Maka pada waktu itu Allah
akan berfirman kepadanya: Selamat datang wahai hamba-Ku, Kuterima
kehadiran-Mu.”
Hanya itu saja yang dikatakan Ayah. Tetapi bagiku sudah sangat berarti.
Lalu aku menjahit mukena, dan mulai belajar mengaji kepada Tante Nng.
Tabunganku kubuka, kubelikan sajadah dan tasbih. Dan sejak hari itu aku
tak pernah bersujud kepada-Nya setiap waktu. Malah kutambah shalat
tahajjud di tengah malam yang lengang sambil kuangkat kedua tanganku
dengan air mata menetes tanpa henti, menyesali kesesatanku.
Akan halnya Bang Ipras, penyelewengannya malahan makin menjadi-jadi.
Kerjanya berantakan, kesukaannya keluyuran di tempat-tempat mesum, dan
kalau pulang mulutnya bau arak cap Orang tua.
Tetapi aku sudah bertekad akan menjadi seorang istri yang setia,
bagaimanapun buruknya kelakuan Bang Ipras saat ini. Kepada Tuhan
kuadukan segala kesulitanku. Dan kumohon kepada-Nya agar berkenan
membimbing suamiku ke jalan yang benar. Siapa tahu, doa perempuan
berlumur dosa ini dikabulkan-Nya sehingga kelak aku akan dapat menikmati
kehidupan rumah tangga yang tenteram dan bahagia. Mudah-mudahan.