Minggu, 03 Februari 2013

Aib Sepanjang Usia

Kisah ini diceritakan oleh seorang ibu rumah tangga dengan pahit getirnya pengalaman hidupnya.
“Mohon maaf sebelumnya, apabila ada kesamaan nama dan tempat, atau bahkan kemiripan isi ceritanya, karena ini hanya nama samaran demi untuk menjaga kerahasiaan identitas yang bersangkutan. Terima kasih.” (Al-Ly Oman)

Adalah wajar apabila seorang wanita mendambakan kehidupan rumah tangga yang damai, rukun, dan harmonis. Termasuk aku. Sebagai seorang istri yang masih muda belia, aku juga memimpikan saat-saat yang indah bersama suami. Namun, rasanya kesempatanku untuk menjadi ibu rumah tangga yang bahagia sudah terkubur dalam lumpur. Sulit bagiku untuk dapat berdiri kembali, sama sulitnya dengan menegakkan benang basah. Memang begitulah keadaanku saat ini. Sebab biang keladi semua kesusahanku adalah Bang Ipras, suamiku sendiri. Dialah yang mula-mula memperkenalkan aku dengan dosa dan membuatku ketagihan untuk lagi-lagi berbuat dosa.

Sebetulnya orang tuaku sangat bijaksana dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Kami yang berjumlah Sembilan orang diperlakukan dengan santun dan penuh kasih saying, dan tidak seorang pun yang diistimewakan melebihi yang lainnya. Kami ditempa untuk menjadi anak-anak yang tahu diri, bahwa ayahnya yang pensiunan pegawai negeri penghasilannya tidak seberapa sehingga kami harus rela hidup dengan serba sederhana

Untuk itu, ibuku yang berdarah Betawi, sangat ketat mengatur keuangan belanja sampai tidak serupiah pun dibiarkan lolos tanpa diperhitungkan manfaatnya. Namun, karena sikap Ibu yang hemat itulah kehidupan keluarga kami terasa lebih berkecukupan dibandingkan dengan keluarga-keluarga lain yang sama-sama penghuni komplek perumahan di Cisalak, Jawa Barat.

Demikianlah, tahun demi tahun kami lalui dengan suasana kerukunan yang tetap terpelihara. Kakak-kakakku sudah mulai memasuki jenjang perkawinan, sedangkan aku sebagai anak nomor enam telah meningkat ke usia remaja. Aku kini duduk di kelas II SMP.

Ayah sering memperingatkan, dengan nasihat-nasihat yang menyentuh perasaan, bahwa masa remaja adalah saat-saat yang penuh godaan, tantangan, dan risiko. Kalau tidak pandai-pandai meniti arus, salah-salah bias hanyut ditelan ombak. Apalagi bila tidak hati-hati menjaga diri, akibatnya akan dirasakan seumur hidup.

Ibu juga ikut prihatin sebab pergaulan muda-mudi akhir-akhir ini jauh berbeda dengan etiket pada masa mudanya. Dulu, kata ibu, pergi berdua di siang hari saja sudah mencemarkan nama, jangankan kencan hingga larut malam. “Tidak seperti anak-anak sekarang”, ujarnya cemas. “Mereka sudah dikendalikan. Antara lelaki dan perempuan seolah-olah tidak ada batas lagi, sesuka sendiri.”

Intinya aku tahu, ibuku mengharapkan agar aku tidak terseret oleh pergaulan bebas sampai melanggar batas-batas agama. “Karena sekali wanita ternoda, bekasnya akan membuat sengsara dirinya sepanjang masa. Kemana pun bersembunyi, dengan cara apapun ditutup-tutupi, noda akan melekat terus dan membuat rumah tangganya tidak akan tentram selamanya,” ucapnya trenyuh. Nasihat itu kutanggapi dengan janji di dalam hati bahwa aku akan selalu melindungi kehormatanku sebagai seorang gadis yang masih suci.

Namun janji itu seolah tidak bergaung kalau aku sedang berkumpul dengan teman-teman sebayaku, di sekolah dan di tempat-tempat lain. Bersama mereka, dunia terasa lebih meriah, tidak seperti di rumah. Sungguh, masa remaja adalah kesempatan paling indah tuk dinikmati. Kapan lagi bila tidak hari ini? Begitu semboyanku dalam hati jika sedang dinasihati. Sebab, setiap kali berada di rumah, kulihat ayah dan ibuku jarang bergurau. Mereka hanya bicara tentang urusan sehari-hari. Tidak pernah kudengar tertawa melengking atau ungkapan-ungkapan perasaan yang dikemukakan lewat kalimat-kalimat polos dan lugu sebagaimana kualami bersama kawan-kawanku. Selalu harus dijaga kesopanan, tata karma, dan adat ketimuran yang rasanya makin lama menjadi makin kaku. Dan kayaknya kok dari itu ke itu saja, tidak ada perubahan. Lain sekali dengan suasana pergaulan para remaja. Kami bias tertawa lepas. Bahkan bebas mengemukakan ungkapan-ungkapan perasaan dengan berbagai kalimat yang jorok sekalipun. Sebab bagi kami, yang penting adalah sama-sama senang dan jangan usil terhadap kawan. Nah, itu kan cara hidup yang sesuai dengan keinginan setiap orang, bersuka ria tanpa kenal waktu?

Barangkali karena pergeseran janji itulah aku mulai gemar bergaul dengan teman-teman cowok. Mula-mula aku masih agak menjaga jarak, sekadar akrab di tempat-tempat ramai, waktu camping atau piknik bersama umpamanya. Lama-kelamaan aku mulai berani pergi berdua walaupun masih belum terlibat skandal asmara. Aku tetap membatasi diri sebagai kawan biasa dengan siapa saja.

Tetapi, ada seorang siswa kelas III SMA yang paling menarik perhatianku. Namanya Bang Ipras, pemuda asal Sumatera Barat. Ia bisa mengambil hatiku dengan sikapnya yang periang dan perlakuannya yang lemah lembut terhadapku. Aku merasa terlindungi apabila berdekatan dengannya, malahan kesusahanku segera sirna tiap kali mendengar suaranya. Itulah yang akhirnya membuatku bersimpuh dalam pelukan cintanya. Aku betul-betul telah takluk kepada Bang Ipras sejak masuk kelas III SMP, dan terlena dalam cumbu rayunya.

Sampai kemudian terkoyaklah tabir itu, yaitu pada waktu Bang Ipras mengajakku pergi seharian dan menikmati kebersamaan di losmen A, Cisalak. Aku pasrah, tidak saja lantaran gejolak asmara telah membuatku gelap mata, tetapi juga karena aku takut kehilangan kekasih yang kudambakan itu. Robeklah kehormatanku, dan robek pula harga diriku. Celakanya, sejak saat itu aku menganggap sudah tidak ada sesuatu yang patut kupertahankan lagi. Toh keperawananku sudah kuserahkan? Jadi, mengapa harus takut-takut? Bukankah Bang Ipras berjanji akan menikahiku? Apa salahnya kalau semua keindahan ini kuregup sejak saat sekarang? Apa bedanya?

Dengan jalan pemikiran seperti itu, maka sudah tidak terhitung lagi hubungan suami-istri kami lakukan dimana-mana, di hotel, di losmen, dan di tempat-tempat liburan atau rumah kawan-kawannya. Statusku sebagai murid SMP kumanfaatkan untuk mengibuli orang tuaku. Sering aku membolos untuk memenuhi keinginan Bang Ipras. Kadang-kadang aku mengatakan kepada Ayah dan Ibu akan les privat sampai malam, sekadar untuk melampiaskan tuntutan gairahku yang kelewat rindu kepada Bang Ipras. Betul-betul aku terjerumus ke dalam jalinan cinta yang paling penuh oleh noda dan dosa. Entah dengan cara bagaimana aku kelak menghapus lembaran hitamku itu, sedikit pun tidak terlintas di dalam benakku. Aku benar-benar telah lupa daratan, bahkan lupa lautan. Seakan-akan aku tidak takut kepada neraka. Bahkan seolah kutantang ancaman siksa demi cintaku terhadap Bang Ipras yang telah melampaui takaran wajar.

Untuk memperlancar rayuannya, Bang Ipras memperkenalkan aku dengan obat-obat terlarang seperti pil BK, Magadhon, Valium, atau Rohpinol. Sebab dengan menelan pil-pil semacam itu, aku menjadi mabuk kepayang, pikiran melayang-layang. Dengan demikian secara sukarela kuturuti saja segala kemauannya, tanpa membantah atau melawan sedikitpun, termasuk melakukan perbuatan-perbuatan yang menjijikkan. Sembahyang lima waktu sudah kutinggalkan kecuali kalau sedang berada di rumah, sekedar mengelabui orang tuaku.

Akhirnya, sesuatu yang kutakutkan dan selalu kami hindari telah terjadi. Aku berbadan dua, alias hamil. Oh, dunia mendadak berputar-putar di mataku. Apalagi ketika sikap Bang Ipras terhadapku malah berubah menjadi kasar dan selalu menjauhkan diri semenjak kukatakan kepadanya bahwa aku terlambat datang bulan. Bagaikan ditimpa gunung runtuh rasanya tatkala Bang Ipras malahan menuduh, “Pasti kamu melakukannya dengan orang lain. Tidak denganku saja.”

Aku menjerit. Serendah itu Bang Ipras menilai kesetiaan dan pengorbananku untuknya. Aku rela mengkhianati kepercayaan orang tuaku, bahkan hukum Tuhan kulanggar hanya untuk menuruti kemauannya dan menyenangkan hatinya. Sebab ia berjanji akan bertanggung jawab andaikata kecelakaan seperti ini tak dapat dihindari. Namun, ketika bencana itu menimpa kami, ia akan berlepas tangan dan membiarkan aku harus menanggungnya sendirian. Alangkah kejamnya lelaki yang kupuja itu.

“Mustahil kalau hanya dengan aku kamu bisa bunting,” teriaknya lantang. “Sebab aku sangat hati-hati, dan tidak asal mau.”

Aku menangis tersedu-sedu. Demi Allah, ah, bolehkah aku yang kotor ini bersumpah? Sungguh, aku tidak pernah disentuh oleh siapapun, kecuali oleh dia seorang. Tapi, apa jawab Bang Ipras?

“Sumpah seribu kali pun aku tidak akan percaya,” hardiknya kesetanan. “Perempuan yang menyerahkan kehormatannya dengan gampang kepada seorang lelaki, pasti akan dengan gampang pula menyerahkannya kepada lelaki lain. Dan engkau dengan mudah telah pasrah kepadaku, maka engkau pasti dengan mudah telah pasrah kepada selain aku.”

Aku tudak tahu, jalan mana lagi yang harus kutempuh agar Bang Ipras mau kubawa ke depan orang tuaku untuk meminang dan kemudian menikahiku. Dengan segala cara ia tetap menolak, malahan makin menghindar.

Karena sudah gelap mata, akhirnya aku nekat memberitahukan kehamilanku kepada Ayah dan Ibu. Tentu saja meledaklah kemarahan dan kemurungan seluruh keluargaku. Ayah dan Ibu menangis, aku yang kelihatan alim di rumah, ikut mengaji ke mesjid, ternyata di luar sepengetahuan mereka telah melakukan perbuatan yang terkutuk. Barangkali tidak terpikir di benak mereka, sudah sejauh ini kebejatan yang telah kuperbuat selama ini sampai aku sendiri malu dan menangis pedih.

Namun, apa hendak dikata, segalanya sudah terlanjur. Ibarat nasi, sudah kepalang menjadi bubur. Lalu mau apa lagi? Tinggal kuterima saja nasibku, sebab itu semua merupakan hasil perbuatanku juga.

Itu pula barangkali yang terpikir oleh Ayah dan Ibuku. Mereka telah kucoreng moreng di depan para tetangga sekompleks dan segenap familiku, namun mereka berusaha tetap sabar menghadapi aku. Malahan tampaknya ayahku justru menyalahkan dirinya sendiri, mengapa selaku orang tua tidak cermat mengawasi kelakuan anaknya dan mengendalikan tindak-tanduknya. Oleh karena itu, dengan segala daya ia berusaha menginsyafkan Bang Ipras agar mau mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Setelah ternyata Bang Ipras tetap bersikeras dengan pendiriannya, terpaksa Ayah menggunakan jalur hokum yang berlaku. Ia melaporkan kasusku itu kepada pihak yang berwajib, sehingga polisi segera turun tangan. Bang Ipras dimintai keterangan, sebatas mana hubungannya denganku. Betulkah ia telah menggauli aku, ataukah sekedar pacaran biasa saja. Sesudah ia mengakui semua kesalahannya, Pak Penghulu pun dipanggil, dan kami dinikahkan secara sah sesuai dengan hokum agama dan Negara. Dalam catatanku, peristiwa itu terjadi pada tanggal 29 Oktober 1992, menjelang hari-hari terakhirku di kelas III SMP.

Waktu pernikahan itu usia kandunganku sudah masuk bulan keempat sehingga tidak berapa lama setepah itu, aku pun melahirkan seorang bayi laki-laki, mungil dan bersih. Kata ibuku, hidungnya mengambil hidungku sedangkan bibirnya menyerupai ayahnya. Dalam hatiku berdoa, semoga hanya bentuk jasad kami yang menitis kepadanya, dan jangan perilaku kami yang penuh nista itu.

Kini umur anakku sudah jalan. Kebutuhan hidupku makin meningkat, sedangkan penghasilan Bang Ipras sebagai pedagang kecil-kecilan tidak mampu manggung semua itu. Terpaksa aku harus mencari tambahan. Anakku Nvl kutitipkan pada ibuku karena tiap hari aku harus bekerja sampai larut malam sebagai waitress bilyard di kawasan Monas. Untuk sementara, aku tidak memberitahu orang tuaku di mana aku bekerja, takut gunjingan tetangga makin mengguncangkan hati mereka.

Tapi memang wajar, apabila waitress didesas-desuskan orang. Sebab bekerja di tengah kaum pria selalu ada saja godaannya. Biasanya mereka memulai perkenalan dengan baik-baik. Seperti Beni, salah seorang pelanggan yang dengan sopan mendekati aku, dan menawarkan tenaganya untuk mengantarkan aku pulang dengan mobilnya. Tentu saja tawaran itu kusambut dengan gembira. Dalam beberapa kali perjalanan ia tetap menjaga jarak denganku. Kemudian ia banyak menceritakan istrinya yang konon tidak pernah mampu memberikan kepuasan kepadanya. Dan ujungnya, ia mengajakku menginap di hotel berdua daripada jauh-jauh pulang ke Cisalak. Alhamdulillah, rayuan yang merangsang dari lelaki ganteng  dan kaya, ternyata dapat kutolak dengan tegas karena aku merasa sudah mempunyai suami yang sah. Aku tak ingin terjerumus ke dalam perbuatan yang melanggar hokum Tuhan.

Untuk itu kupilih keluar dari tempat maksiat itu. Memang permainan bilyard itu sendiri, kata orang, bukan maksiat. Tetapi, ekor sampingannya yang biasanya berkepanjangan, dan banyak rumah tangga berantakan karena suami ada main dengan gadis-gadis penunggu bilyard.

Ya, begitulah risiko rakyat kecil. Kepingin punya uang sedikit saja harus menjadi santapan orang-orang berduit. Dasar nasib. Karena itu, keputusanku berhenti bekerja di situ sangat disetujui oleh orang tuaku.

Namun, memang berat hidup tanpa kegiatan. Di rumah aku mulai bosan dan selalu dirundung kesepian. Apalagi Bang Ipras hanya pulang seminggu sekali. Kadang-kadang malahan sampai sebulan tidak muncul-muncul. Maka Dari itu, ketika ada keperluan mendadak yang harus kubicarakan dengannya, aku berangkat ke tempat dagangnya tanpa member tahu lebih dulu. Kebetulan hari itu ia tidak berjualan. Tempat dagangnya sepi, pintunya ditutup, tetapi tidak dikunci. Lega perasaanku. Aku pun segara masuk sambil menggendong anakku dengan hati-hati sebab ambang pintunya rendah sekali. Begitu aku menguak tirai kamar, masyaAllah, apakah yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri?
Namun, memang berat hidup tanpa kegiatan. Di rumah aku mulai bosan dan selalu dirundung kesepian. Apalagi Bang Ipras hanya pulang seminggu sekali. Kadang-kadang malahan sampai sebulan tidak muncul-muncul. Maka Dari itu, ketika ada keperluan mendadak yang harus kubicarakan dengannya, aku berangkat ke tempat dagangnya tanpa member tahu lebih dulu. Kebetulan hari itu ia tidak berjualan. Tempat dagangnya sepi, pintunya ditutup, tetapi tidak dikunci. Lega perasaanku. Aku pun segara masuk sambil menggendong anakku dengan hati-hati sebab ambang pintunya rendah sekali. Begitu aku menguak tirai kamar, masyaAllah, apakah yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri? Bang Ipras sedang bermain asmara dengan gadis temannya berdagang. Untung aku sadar bahwa yang sedang berada pada dalam pelukanku adalah anak kandungku, bukan boneka bikinan Bang Ipras, sehingga dengan erat kupeluk dia, dan bukannya kucampakkan ke lantai untuk melampiaskan kemarahanku. Aku tidak jadi menemuinya. Kutinggalkan warung bejat itu buru-buru sambil air mataku tertumpah dengan deras.

Ya Tuhan, aku menjerit. Demi Bang Ipras aku bertekad akan menjadi istri yang setia dan hanya menyerahkan kehormatanku kepadanya. Rayuan dari pria-pria lain selama bekerja sebagai waitress di tempat bilyard selalu kutampik, padahal kalau aku mau, berapa banyak uang yang bisa kuperoleh dari mereka disamping bersenang-senang menikmati gairah masa muda? Kalau begitu, percuma saja aku menanam kebaikan selama ini apabila ketulusanku malah dikhianati. Mengapa aku begitu bodoh, sendirian saja menelan kepahitan dengan suami yang menyeleweng? Kenapa aku tidak melakukan yang sama, berpuas-puas dengan laki-laki lain?

Ya Allah, aku tidak sadar telah termakan bisikan setan. Akibat rasa sakit hatiku, aku terhanyut oleh rayuan-rayuan iblis. Dan pekerjaan iblis tidak tanggung-tanggung. Ia seolah-olah membimbingku untuk selalu bertandang ke rumah bekas kawan SMP-ku dulu, yang mempunyai seorang kakak lelaki bernama Amir. Dari perkenalan sepintas, akhirnya Amir makin akrab denganku, dan sudah sering membawaku menonton bioskop berdua. Malahan sejak itu aku justru lebih dekat dengan Amir daripada dengan Ani, kawanku itu. Mula-mula kalaupun Bang Amir menciumku, masih kuanggap sebagai kasih saying abang kepada adiknya walaupun bukan saudara kandung. Tetapi, lama kelamaan sikapnya kepadaku melebihi batas-batas kewajaran. Celakanya, aku tidak keberatan, bahkan mengimbanginya dengan bernafsu karena ingin membalas dendam kepada suamiku. Akibatnya, terulang kembali dosa-dosa itu, seperti pernah kulakukan dengan Bang Ipras sebelum menikah dulu.

Namun, penyelewenganku kali ini segera tercium oleh ayahku. Bagaikan Malaikat Mungkar Nakir, Ayah mendampratku habis-habisan. Dan sejak saat itu aku dilarang keluar rumah tanpa seizing Ayah dan Ibu.

Malangnya, Bang Ipras sempat mendengar skandalku dengan Bang Amir. Entah kenapa, ia bukannya mendatangi Bang Amir untuk mengadakan perhitungan antara lelaki dengan lelaki, malahan akulah yang menjadi sasarannya. Gamparan demi gamparan, gebukan demi gebukan selalu kuterima tiap kali Bang Ipras pulang. Agaknya aku ini dianggap memikul beban dosa dua orang. Bukan dosaku sendiri saja, tetapi juga dosa Bang Amir yang telah menggauliku beberapa kali.

Namun, betapa pun besarnya dosaku, rasanya aku tak sanggup lagi menahan kesakitan ini. Oh, adakah siksaanku kelak di akhirat akan jauh lebih berat dibandingkan dengan yang kuderita sekarang ini? Lalu, masih adakah harapan bagiku untuk mendapat keselamatan sebagaimana hamba-hamba Tuhan yang lain?

Memang, penyesalanku barangkali sudah terlambat. Aku adalah wanita bobrok, yang sebenarnya tidak layak menjadi seorang ibu. Benarkah itu?

Nyatanya, anakku yang belum genap berusia setahun tiba-tiba tertimpa musibah mengerikan. Ia merangkak ke lorong tempat tidur tanpa setahuku dan meminum air accu yang tergeletak di situ. Dalam keadaan terkejang-kejang, anak itu dibawa ke rumah sakit oleh ayah dan ibuku sementara aku Cuma bisa melolong di rumah, meratapi peruntunganku. Entah bagaimana nasib anakku itu, aku belum tahu. Yang jelas, ia sebetulnya anak tidak berdosa meskipun kelahirannya berasal dari hubungan tidak sah antara aku dengan Bang Ipras. Untuk itu aku masih mampu memohon kepada Allah agar ia diselamatkan dari malapetaka itu. Yang berdosa kami, ya Allah, ayah-ibunya. Ia tidak tahu apa-apa. Bahkan sebetulnya ia lahir dengan terpaksa tanpa kami kehendaki.

Rupanya permohonanku didengar Tuhan. Beberapa hari kemudian kesehatan anakku telah pulih kembali seperti sedia kala. Sungguh, tak terkira kegembiraanku, dan alangkah bahagianya perasaanku. Ternyata Tuhan masih berkenan mengabulkan doa seorang hamba-Nya yang bergelimang dosa. Jadi, seandainya aku memohon ampun dari dosa-dosaku yang lalu, apakah Ia juga mau menerima kedatanganku?

Dengan cemas dan ragu-ragu kutanyakan masalah ini kepada ayahku. Ya, karena betul-betul aku ingin bertobat, ingin sembahyang lagi, ingin berpuasa lagi, dan ingin mengaji lagi.

Bagaimanakah kemudian jawaban yang kudengar dari mulut ayahku?

“Far,” ujarnya. “Kabarnya Nabi pernah mengatakan bahwa tidak ada suara yang lebih dicintai Allah daripada suara seorang hamba yang berdosa ketika ia tengah memohon ampun kepada-Nya. Maka pada waktu itu Allah akan berfirman kepadanya: Selamat datang wahai hamba-Ku, Kuterima kehadiran-Mu.”

Hanya itu saja yang dikatakan Ayah. Tetapi bagiku sudah sangat berarti. Lalu aku menjahit mukena, dan mulai belajar mengaji kepada Tante Nng. Tabunganku kubuka, kubelikan sajadah dan tasbih. Dan sejak hari itu aku tak pernah bersujud kepada-Nya setiap waktu. Malah kutambah shalat tahajjud di tengah malam yang lengang sambil kuangkat kedua tanganku dengan air mata menetes tanpa henti, menyesali kesesatanku.

Akan halnya Bang Ipras, penyelewengannya malahan makin menjadi-jadi. Kerjanya berantakan, kesukaannya keluyuran di tempat-tempat mesum, dan kalau pulang mulutnya bau arak cap Orang tua.

Tetapi aku sudah bertekad akan menjadi seorang istri yang setia, bagaimanapun buruknya kelakuan Bang Ipras saat ini. Kepada Tuhan kuadukan segala kesulitanku. Dan kumohon kepada-Nya agar berkenan membimbing suamiku ke jalan yang benar. Siapa tahu, doa perempuan berlumur dosa ini dikabulkan-Nya sehingga kelak aku akan dapat menikmati kehidupan rumah tangga yang tenteram dan bahagia. Mudah-mudahan.

Related Articles:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar